Bukan hanya berisik, kebiasaan mendengkur juga menandakan adanya gangguan tidur pemicu stroke dan serangan jantung. Kini ada cara yang efektif untuk meredakannya, yakni dengan stimulasi elektrik (rangsangan listrik).
Sebuah perusahaan di Amerika memproduksi alat tersebut untuk menggantikan metode lama, continuous positive airway pressure (CPAP). Meski efektif, CPAP yang berwujud masker yang mengalirkan oksigen selama tidur itu dilaporkan tidak nyaman bagi 40 persen penggunanya.
Berbeda dengan CPAP, metode stimulasi elektrik menggunakan alat berupa neurotransmitter berukuran kecil yang ditanam melalui pembedahan di sekitar leher. Ketika diaktifkan alat itu akan menstimulasi saraf hypoglossal yang terletak di pangkal tulang rahang.
Saraf tersebut bertanggung jawab pada gerakan otot genioglossus di sekitar lidah, yang berhubungan langsung dengan saluran napas selama tidur. Jika melemah, saluran tersebut akan menyempit dan menyebabkan dengkuran atau bahkan berhenti napas sama sekali selama beberapa detik (obstructive sleep apnea).
Apabila tidak tertangani, kondisi tersebut dapat memicu komplikasi yang lebih serius, mulai dari tekanan darah tinggi, serangan jantung hingga stroke. Bahkan karena mengurangi kualitas tidur secara signifikan, penderitanya juga bisa mengalami depresi karena kelelahan.
Sedangkan untuk efektifitasnya, metode stimulasi elektrik dilaporkan mampu mengurangi dengkuran hingga 56 persen dalam sebuah penelitian di Australia. Hasil ini dicapai dalam 3 bulan sejak pemasangan, dengan durasi pemakaian rata-rata 6,5 jam sepanjang malam.
Dikutip dari Dailymail, Selasa (7/9/2010), cara mengaktifkan dan mematikan alat ini tidak sulit meski ditanam di dalam tubuh. Sebab neurotransmitter yang ditanam di leher itu terhubung dengan sensor yang terletak di sekitar tulang iga, yang bisa dikendalikan dengan remote control dari luar.
Sebuah perusahaan di Amerika memproduksi alat tersebut untuk menggantikan metode lama, continuous positive airway pressure (CPAP). Meski efektif, CPAP yang berwujud masker yang mengalirkan oksigen selama tidur itu dilaporkan tidak nyaman bagi 40 persen penggunanya.
Berbeda dengan CPAP, metode stimulasi elektrik menggunakan alat berupa neurotransmitter berukuran kecil yang ditanam melalui pembedahan di sekitar leher. Ketika diaktifkan alat itu akan menstimulasi saraf hypoglossal yang terletak di pangkal tulang rahang.
Saraf tersebut bertanggung jawab pada gerakan otot genioglossus di sekitar lidah, yang berhubungan langsung dengan saluran napas selama tidur. Jika melemah, saluran tersebut akan menyempit dan menyebabkan dengkuran atau bahkan berhenti napas sama sekali selama beberapa detik (obstructive sleep apnea).
Apabila tidak tertangani, kondisi tersebut dapat memicu komplikasi yang lebih serius, mulai dari tekanan darah tinggi, serangan jantung hingga stroke. Bahkan karena mengurangi kualitas tidur secara signifikan, penderitanya juga bisa mengalami depresi karena kelelahan.
Sedangkan untuk efektifitasnya, metode stimulasi elektrik dilaporkan mampu mengurangi dengkuran hingga 56 persen dalam sebuah penelitian di Australia. Hasil ini dicapai dalam 3 bulan sejak pemasangan, dengan durasi pemakaian rata-rata 6,5 jam sepanjang malam.
Dikutip dari Dailymail, Selasa (7/9/2010), cara mengaktifkan dan mematikan alat ini tidak sulit meski ditanam di dalam tubuh. Sebab neurotransmitter yang ditanam di leher itu terhubung dengan sensor yang terletak di sekitar tulang iga, yang bisa dikendalikan dengan remote control dari luar.