Begitu dahsyatnya cuci tangan, hingga setahun saja bisa menghemat Rp33 miliar. Bagaimana caranya, ya?
"Ongkos ekonomi itu juga ditimbulkan akibat penyakit cacing. Rata-rata 60% masyarakat Indonesia mengidap cacingan. Penyebabnya, karena mereka tidak punya kebiasaan cuci tangan," papar Dr Handrawan Nadesul, pengamat masalah kesehatan sekaligus pengasuh rubrik kesehatan di sejumlah media yang gemar menulis buku.
Menurutnya, angka cacingan Indonesia paling banyak terdapat pada anak usia 5-14 tahun. Selain kerugian ongkos berobat, zat gizi dirampas cacing dan harus bolos sekolah. Kemudian, kehilangan zat gizi dicuri cacing berdampak pada tingkat kecerdasan, gizi buruk, dan anemia.
"Anak Indonesia bisa kehilangan sampai dua digit tingkat kecerdasannya akibat cacingan," lanjutnya. Cacing mencuri zat gizi termasuk protein untuk membangun otak. Setiap satu cacing gelang memakan 0,14 gr karbohidrat, dan 0,035 protein per hari.
Cacing cambuk meminum 0,005 ml darah manusia per hari dan cacing tambang 0,2 ml darah per hari. Jika jumlahnya ratusan, bayangkan berapa besar kehilangan zat gizi dan darah. Keduanya berdampak terhadap tingkat kecerdasan, selain berujung anemia yang menurunkan prestasi belajar dan produktivitas.
Angka kekurangan gizi Indonesia masih tinggi. Angka kecukupan gizi sendiri masih mendera 100 juta rakyat. Bila tidak diintervensi oleh gerakan cuci tangan, akan memperburuk jenis kekurangan gizi selain angkanya membengkak. Cuci tangan juga mencegah lebih sepuluh jenis penyakit fecal-oral (lewat tangan ke mulut) termasuk diare, akibat cemaran sanitasi lingkungan yang masih buruk.
Data World Bank menyebutkan Indonesia kehilangan Rp56 triliun setiap tahun akibat sanitasi lingkungan buruk. Sanitasi lingkungan yang buruk memperburuk dampak yang ditimbulkan oleh kebiasaan masyarakat tidak cuci tangan. "Jadi cuci tangan sebetulnya cost-effective bagi negara."
Di tingkat individu hanya dengan US$3,35, setara dengan manfaat US$11 untuk infrastruktur saluran air, air bersih, dan sanitasi. Selain ratusan juta hari sekolah yang hilang oleh penyakit yang ditimbulkan akibat tidak cuci tangan.
Handrawan menyarankan, kebiasaan cuci tangan sebaiknya dibentuk sejak kecil. Pendidikan kesehatan merupakan terobosan bagaimana kebiasaan sehat itu dibentuk di sekolah. Masyarakat yang dibangun tanpa membentuk kebiasaan cuci tangan akan menghabiskan anggaran negara untuk yang sebetulnya tidak perlu terjadi
"Ongkos ekonomi itu juga ditimbulkan akibat penyakit cacing. Rata-rata 60% masyarakat Indonesia mengidap cacingan. Penyebabnya, karena mereka tidak punya kebiasaan cuci tangan," papar Dr Handrawan Nadesul, pengamat masalah kesehatan sekaligus pengasuh rubrik kesehatan di sejumlah media yang gemar menulis buku.
Menurutnya, angka cacingan Indonesia paling banyak terdapat pada anak usia 5-14 tahun. Selain kerugian ongkos berobat, zat gizi dirampas cacing dan harus bolos sekolah. Kemudian, kehilangan zat gizi dicuri cacing berdampak pada tingkat kecerdasan, gizi buruk, dan anemia.
"Anak Indonesia bisa kehilangan sampai dua digit tingkat kecerdasannya akibat cacingan," lanjutnya. Cacing mencuri zat gizi termasuk protein untuk membangun otak. Setiap satu cacing gelang memakan 0,14 gr karbohidrat, dan 0,035 protein per hari.
Cacing cambuk meminum 0,005 ml darah manusia per hari dan cacing tambang 0,2 ml darah per hari. Jika jumlahnya ratusan, bayangkan berapa besar kehilangan zat gizi dan darah. Keduanya berdampak terhadap tingkat kecerdasan, selain berujung anemia yang menurunkan prestasi belajar dan produktivitas.
Angka kekurangan gizi Indonesia masih tinggi. Angka kecukupan gizi sendiri masih mendera 100 juta rakyat. Bila tidak diintervensi oleh gerakan cuci tangan, akan memperburuk jenis kekurangan gizi selain angkanya membengkak. Cuci tangan juga mencegah lebih sepuluh jenis penyakit fecal-oral (lewat tangan ke mulut) termasuk diare, akibat cemaran sanitasi lingkungan yang masih buruk.
Data World Bank menyebutkan Indonesia kehilangan Rp56 triliun setiap tahun akibat sanitasi lingkungan buruk. Sanitasi lingkungan yang buruk memperburuk dampak yang ditimbulkan oleh kebiasaan masyarakat tidak cuci tangan. "Jadi cuci tangan sebetulnya cost-effective bagi negara."
Di tingkat individu hanya dengan US$3,35, setara dengan manfaat US$11 untuk infrastruktur saluran air, air bersih, dan sanitasi. Selain ratusan juta hari sekolah yang hilang oleh penyakit yang ditimbulkan akibat tidak cuci tangan.
Handrawan menyarankan, kebiasaan cuci tangan sebaiknya dibentuk sejak kecil. Pendidikan kesehatan merupakan terobosan bagaimana kebiasaan sehat itu dibentuk di sekolah. Masyarakat yang dibangun tanpa membentuk kebiasaan cuci tangan akan menghabiskan anggaran negara untuk yang sebetulnya tidak perlu terjadi