Beberapa hari ini aksi bunuh diri dengan menerjunkan diri dari gedung tinggi jadi fenomena. Hendrik Cendana, tewas setelah terjun dari lantai 3 gedung parkir Gajah Mada Plasa, Jakarta Pusat.
Kemudian Iwan yang melompat dari lantai 9 Hotel Boetiq, kamar 906, Jalan S Parman, Tomang, Jakarta Barat. Sehari sebelumnya peristiwa serupa juga terjadi di Blok M Square. Tentu saja, banyak pihak menyesalkan kejadian seperti ini terus terulang.
"Bunuh diri adalah sebuah proses, apa yang menjadi pemicu, itu yang harus dicari," kata Tiwin Herman, psikolog Universitas Indonesia saat berbincang dengan VIVAnews.com, Selasa.
Menurut Tiwin, ini adalah efek dari tingkat kepedulian sosial yang semakin turun di masyarakat. Dia menilai, dari pengalaman yang ada, kesimpulan yang bisa diambil adalah banyak tantangan dalam kehidupan, membuat kepedulian kepada lingkungan menjadi kecil.
Tiwin mengemukakan beberapa tanda seseorang bisa 'dicurigai' akan melakukan aksi bunuh diri. Diantaranya adalah, adanya perubahan sikap dan emosi, sedikit bicara, sering murung, menyendiri sampai pada malas makan.
Atas hal ini, Tiwin menyarankan kepada masyarakat untuk lebih responsif dan tidak menjauhi. Selain itu, peran keluarga juga harus lebih kuat lagi.
"Ada proses sebelum seseorang melakukan aksi bunuh diri. Kalau kita bisa masuk di proses itu dan mendampingi mungkin kita bisa membantu mengeluarkan apa yang menjadi masalah dia," lanjutnya.
Tiwin juga menyinggung peran media dalam memicu aksi bunuh diri. Menurutnya, media turut memberi edukasi kepada seseorang untuk melakukan bunuh diri. Lebih parahnya lagi, insan pers bisa menjadi sumber penularan.
"Pemberitaan media bisa menjadi edukasi bagi orang yang ingin bunuh diri. Media menjadi sumber inspirasi dan penularan. Namun sayang, mereka tidak pernah menyadari itu," kata dia.